Kamis, 19 Agustus 2010

Bontang memang kaya sih tapi……

Saya baru saja membaca blog ini tentang 20 kabupaten terkaya di Indonesia. Bisa dibilang urutannya dikuasai oleh kabupaten-kabupaten di Kalimantan Timur, bisa ada lihat dari 20 kabupaten yang masuk, 14 kabupaten berada daam propinsi yang memilik Sungai Mahakam ini.

Tentu saja sebagai pemegang KTP Kaltim selama hampir 10 tahun saya bangga, apalagi kota tempat saya dibesarkan tidak main-main masuk urutan ke 15. Ternyata kabupaten yang dulunya populasi orang utannya lebih banyak daripada manusia maka ini sebuah prestasi yang tidak bisa dibilang kecil. Maklum saja Kalimantan Timur baru bisa mengejar ketertinggalannya sejak otonomi daerah ditetapkan oleh pemerintah pusat, sehingga daerah-daerah yang tadi harus menyetor “upeti” lebih banyak ke pusat sekarang dapat memaksimalkan kekayaan daerahnya untu membangun daerahnya masing-masing.

Perubahan ini juga membawa dampak sosial yang baru. Di Bontang saja yang tadinya orang-orang yang tinggal di kompleks PT. Badak NGL dan Pupuk Kaltim menjadi bagian orang-orang “strata” atas (anda bisa membayangkan keadaan ini seperti Komplek Timah dan orang Kampong pada Laskar Pelangi karya Andre Hirata), dengan segala fasilitas dan kemewahannya (anda bisa bayangkan listrik dan air gratis belum lagi fasilitas kolam renang, lapangan tenis dan sekolah yang lengkap). Sedangkan orang di luar kompleks, kami menyebutnya orang kampung (mirip kan dengan kisah Laskar Pelangi??). Mereka tinggal di rumah-rumah panggung dari kayu dengan arsitektur khas rumah suku Bugis, yang seringkali sudah miring. Sehingga kami, penghuni kompleks teramat jarang bersentuhan dengan orang kampung selain antara atasan dan bawahan atau antara pembantu dengan majikan dan antara pembeli dan penjual.

Sekarang ceritanya sudah berbeda, berbalik malah. Banyak dari orang kampung tersebut sekarang menjadi pengusaha sukses. Mengusahakan apapun yang dulu mereka tidak bisa mereka usahakan seperti usaha batu bara, swalayan, hasil-hasil hutan dan yang baru booming di Bontang adalah usaha sarang walet yang menurut kabar beritanya sekali panen bisa menghasilkan 60-an juta, setahun bisa 3 kali. Bisa anda bayangkan betapa tebalnya kantong orang-orang Bontang.

Sekarang pun rumah-rumah mereka lebih besar dan mewah daripada milik orang-orang kompleks. Mereka juga memiliki mobil-mobil keluaran terbaru walaupun inden lebih lama dari pada orang-orang Jakarta. Jangan salah walaupun tinggal di Kalimantan Timur tapi mereka juga punya gadget-gadget yang sekali lagi cuma kalah sama orang Jakarta deh (intinya bisa dibeli dengan uang, pasti ada di Bontang).

Sayangnya kekuatan uang tidak diikuti dengan perkebambangan pola pikir. Mereka selalu merasa menjadi orang miskin. Buktinya masih banyak sebuah yayasan pendidikan yang terkemuka di Bontang, punya gedung sekolah, universitas sampai klinik yang mentereng namun masih minta sumbangan masyarakat ketika akan membangun sebuah gedung TK.

Lalu ada sebuah Mesjid pembangunannya tersendat-sendat (mungkin karena sangking mewahnya kali) lalu minta sumbangan ke masyarakat padahal panitia dan lingkungan Mesjid bisa dibilang orang-orang yang berkecukupan dan tidak jauh dari situ sudah ada Mesjid juga. Belum lagi Ibu saya pernah membantu sebuah sekolah SD yang bangunannya hampir rubuh bersama expatriat, padahal disekeliling sekolah itu rumahnya bagus-bagus lho. Bingung kan kok bisa sekolahnya sereot itu. Juga pernah ketika salah seorang teman Ibu saya seorang expatriat ingin menyumbang untuk anak-anak sekolah yang kurang mampu, sama salah seorang koordinatornya malah diusulkan untuk dibelikan raket tenis, walaupun akhirnya oleh Ibu saya sumbangan diarahkan di perkampungan nelayan.

Masih banyak tingkah “aneh” lainnya yang menurut saya tidak mencerminkan daerah kaya, malah kok berkesan OKB. Adik saya punya pengalaman “aneh” dengan kelakuan para OKB ini. Beberapa tahun yang lalu, adik saya sowan ke rumah temannya di sebuah perumahan mewah di Bontang. Kebetulan ketemu Bapak temannya. Selama bertamu di rumah temannya itu si Bapak langsung berkeluh kesah tentang jalan di depan rumahnya yang rusak (memang sedikit rusak) yang tidak secepatnya diperbaiki oleh pemkab Bontang. Pulangnya adik saya bilang bahwa “lha di Jakarta aja udah biasa tuh memperbaiki sendiri jalan di depan rumah mereka kalo rusak, ditambal aja pake semen. Emang berapa sih biayanya? Gak sebesar dia beli motor kan? Padahal motornya di rumah ada 3. Dasar mental miskin yah miskin mulu padahal bisa jadi amal jariyah dia kan. Ngapain juga pake nungguin Pemkab”.

Mental-mental seperti ini lah yang akhirnya akan menggerogoti Bontang. Jangan heran sedikit demi sedikit alam di kota Bontang dan sekitar sudah habis “dimakan” oleh warganya sendiri. Jarang sekali sekarang pemandangan hutan yang ada adalah padang rumput. Belum lagi rumah mewah yang dibangun tanpa memperdulikan lingkungan di sekelilingnya menambah ruwetnya masalah kota Bontang. Namun bagaimanapun keadaannya saya tetap mengganggap kota ini sebagai kampung halaman yang selalu saya cintai.


Sumber :
Noni Nandani
http://sosbud.kompasiana.com/2010/07/29/bontang-memang-kaya-sih-tapi/
29 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar